Jika ada orang yang tanya, siapakah manusia yang paling menyedihkan di dunia; jawabannya adalah AKU. Lihat saja, wajahku pas-pasan. Banyak noda bekas jerawat di sana sini. Rambutku keriting, yang dipadukan dengan kulitku yang hitam. Tapi untungnya, aku tergolong tinggi. Tinggi badanku mencapai 175cm dengan berat badan hanya mencapai 55 kg. Karena kondisi inilah, teman-teman menyebutku “tiang listrik”.
Dan karena kondisi ini pula, aku bukan termasuk dari cowok-cowok popular di SMU 72, tempatku menimba ilmu. Aku bukanlah Rio, yang terkenal paling cakep di sekolah, sehingga banyak cewek yang rela ngantri hanya demi bisa menghabiskan malam mingguan dengannya. Aku juga bukan Aryo, cowok yang dengan segudang prestasi. Atau pun salah satu dari anggota geng D’STAR, yang terkenal tajir-tajir. Tapi aku hanyalah seorang Mamat, cowok cupu, miskin, dengan otak yang pas-pas an. Mungkin karena inilah,aku merasa tersingkir dari pergaulan disekolah.
Tapi aku merasa bersyukur, karena aku dikaruniai Tuhan seorang sahabat yang baik banget, namanya Adel. Sebenarnya Adel bisa dimasukkan ke dalam cewek-cewek popular di sekolah. Kulitnya sawo matang, yang ditunjang dengan wajah yang manis, tinggi semampai, dan mata yang indah. Prestasinya juga lumayan bagus. Dia selalu masuk ranking di kelas. Bahkan Dira salah satu anggota D’STAR pernah mengerjarnya. Hampir saja, dia tergolong cewek tomboi dan paling cuek dengan penampilan. Sekalipun dia tidak pernah memakai make-up, tapi itu semua tidak bisa menghapus gurat-gurat kecantikan dari wajahnya. Karena diam-diam aku sendiri pun mengakuinya.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku pulang kerja hampir tengah malam. Satu hal lagi yang perlu aku syukuri, aku memiliki pekerjaan sambilan tiap malam. Aku bekerja di sebuah kedai kopi, 300m dari rumah. Setidaknya gaji yang aku peroleh lumayan cukup untuk bayar SPP tiap bulannya.
Karena rasa capek dan kantuk yang sudah memberatkan tubuh dan mataku, cepat-cepat kulangkahkan kaki agar lebih cepat sampai dirumah. Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang masih berlalu lalang. Sesampainya di tikungan jalan, tepatnya di depan sebuah ATM, aku melihat ada keributan.
“tolooooong.....toooolong....” Aku mendengar seorang meminta tolong. Aku langsung berlari ke arah asal suara itu. “Ada apa Pak?” tanyaku pada bapak yang berteriak tadi.
“Mereka mengambil semua uang saya dik. Uang yang baru saya ambil dari ATM ini” jawabannya dengan nafas terputus-putus.
Langsung saja kukejar 2 orang penjambret itu. “Hei...berhenti....”. terriaku. Setelah cukup dekat, kutendang salah satu dari mereka. Laki-laki yang berperawakan hitam kurus itu pun jatuh tersungkur. Sementara laki-laki yang satunya lagi, siap-siap melayangkan tinju ke arahku. Untung aku cepat mengelak. Dan disaat yang sama pula. “kuhadiahkan” dua buah bogem mentah dihidung dan perutnya. Laki-laki itu pun mengaduh kesakitan. Dengan bekal ilmu beladiri yang kupunya, kuhajar satu-persatu dari mereka.
Karena merasa terpojok, kemudian laki-laki yang bertubuh hitam kurus mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaket hitammnya.
“Mau lari kemana kau bocah?” ejeknya.
“Aduh. Bisa mati konyol aku”. Pikirku. Rupanya Tuhan masih menyayangiku. Karena di saat yang sama, melintas mobil patroli polisi.
“Pak...tolong saya pak...,” teriakku pada mereka. Sebelum penjahat-penjahat itu melarikan diri,kurebut tas hitam yang mereka cari tadi. Tapi malang tak dapat di tolak. Pisau laki-laki kurus itu mengenai lengan kiriku. Tapi dengan cepat aku bisa menangkisnya. Mereka pun akhirnya terjebak. Polisi-polisi itu berhasil meringkus mereka.
“Terimakasih pak. Bapak datang tepat pada waktunya,” ucapku pada polisi-polisi itu.
“Terimakasih kembali dik. Untung di dunia ini masih banyak orang yang baik dan pemberani seperti adik,” jawabannya sambil memujiku.
“Adik mau saya antar ke rumah sakit untuk mengobati lukanya?” tanya polisi yang kelihatan paling muda di antara yang lain.
“Nggak usah pak. Cuma luka gores aja.” Jawabku tegas.
Entah kapan datangnya, tiba-tiba saja bapak tadi kerampokkan sudah berada di belakangku dan menyahut, “Iya dik. Lukanya harus diobati. Saya sangat berhutang budi dan berterimakasih sekali pada adik”.
“Sama-sama pak. Sudah menjadi kewajiban saya menolong sesama,” jawabku bermaksud tanpa tinggi hati,” Luka ini biar saya obati di rumah saja.”
“Baiklah, kami minta diri. Besok bapak bisa datang ke kantor kami untuk membuat laporan kejahatan mereka,” kata salah satu polisi itu.
Polisi-polisi itu pun pergi. Tinggal aku dan si bapak sendiri. Kami pun terhanyut dalam perbincangan yang seru. Dari obrolan itu akhirnya kuketahui bahwa beliau adalah seorang pemimpin di sebuah perusahaan surat kabar harian terkemuka di kota ini. Namanya Pak Sasmita. Beliau menanyakan banyak hal kepadaku. Namaku, rumahku, sekolahku, termasuk alasan mengapa tengah malam begini masih keluyuran di luar rumah. Aku pun menceritakan semuanya. Sampai akhirnya waktu menunjukkan lewat tengah malam. Kami pun berpisah.
Esok paginya disekolah, aku melihat kerumunan di depan mading. Aku pun penasaran dan ikut berdesak-desakan di antara yang lain.
Oh my good...benarkah termuat diberita mading itu diriku? Sebuah potongan koran dari surat kabar hari ini menuliskan: Seorang pemuda pemberani berhasil melumpuhkan aksi kejahatan tadi malam. Dan pemuda itu masih terhitung salah satu siswa SMU 72. Belum sempat aku membaca kalimat berikutnya, seorang menepuk pundakku.
“Loe hebat Mat. Gue bangga banget punya sobat kaya loe,” kata Adel memuji. Beberapa teman yang lain juga menghujani pujian padaku. Aku hanya tersenyum menimpalinya dan mengucapkan terimakasih. Pagi itu aku benar-benar kaya selebritis yang di hujani pertanyaan “wartawan-wartawan gadungan” tentang kronologis kejadian semalam.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Bagaimana mungkin kejadiaan semalam bisa dimuat di koran, semantara tak ada yang meliputinya sama sekali. Atau jangan-jangan...Ya,nggak salah lagi. Aku yakin pasti dia.
Akhirnya teka-teki itu terjawab sudah. Pada jam istirahat pertama, aku dan Adel di panggil keruang Pak Kepsek. Katanya ada seorang yang ingin bertemu denganku dan Adel. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa orang itu adalah Pak Sasmita.
“Lho. Pak Sasmita kok bisa sampai disini?” tanyaku penasaran. Pak Sasmita dan Adel malah tertawa.
“Biar gue aja yang jelasin,” sela Adel. “Asal lo tahu ya Mat, Om Sas ini adik mama. Tadi pagi Om Sas kerumah, nanya-nanya tentang lo. Ya gue jawab aja kalo Adel gak Cuma kenal Mamat,tapi kenal banget...” kata Adel dengan wajah berbinar-binar.
“Dan secara kebetulan juga, saya adalah sahabat lama kepala sekolah kalian. Itung-itung silaturahmi. Bukan begitu Pak Rudi?” kata Pak Sasmita sambil melirik ke arah Pak Rudi, kepala sekolahku. Yang ditanya hanya mesem-mesem saja.
“Oh ya Mat. Sebenarnya bapak kesini mau minta maaf pada kamu. Tanpa sepengetahuan kamu, bapak telah mengambil gambar-gambar kamu waktu sedang menghajar preman-preman itu. Dan dengan lancang telah meliputinya di surat kabar harian bapak.”
“Nggak papa pak. Toh dah terlanjur. Tapi sebenarnya itu nggak perlu. Karena Cuma bikin geer saya saja,” jawabku.
“Kamu nggak Cuma baik Mat, tapi juga down to earth. Beruntung sekali Adel punya temen kayak kamu.” Lagi-lagi Pak Sasmita memujiku.
“Ya iyalah Om...Siapa dulu temennya? Adeeel...,” kata Adel narsis. Seisi ruangan itu pun tertawa gemas pada Adel.
Sejak kejadiaan itu, aku menjadi popular di sekolah. Apalagi sekarang aku menjadi asisten Pak Rangga, guru ekskul beladiri di sekolah. Dan dari hari kehari, aku semakin dekat saja dengan Adel. Bahkan aku sudah di anggap seperti keluarga sendiri oleh bokap nyokapnya Adel.
Semoga suatu saat nanti Tuhan berkenan membukakan pintu hati Adel buatku. Karena diam-diam aku menaruh hati padanya.
Dan karena kondisi ini pula, aku bukan termasuk dari cowok-cowok popular di SMU 72, tempatku menimba ilmu. Aku bukanlah Rio, yang terkenal paling cakep di sekolah, sehingga banyak cewek yang rela ngantri hanya demi bisa menghabiskan malam mingguan dengannya. Aku juga bukan Aryo, cowok yang dengan segudang prestasi. Atau pun salah satu dari anggota geng D’STAR, yang terkenal tajir-tajir. Tapi aku hanyalah seorang Mamat, cowok cupu, miskin, dengan otak yang pas-pas an. Mungkin karena inilah,aku merasa tersingkir dari pergaulan disekolah.
Tapi aku merasa bersyukur, karena aku dikaruniai Tuhan seorang sahabat yang baik banget, namanya Adel. Sebenarnya Adel bisa dimasukkan ke dalam cewek-cewek popular di sekolah. Kulitnya sawo matang, yang ditunjang dengan wajah yang manis, tinggi semampai, dan mata yang indah. Prestasinya juga lumayan bagus. Dia selalu masuk ranking di kelas. Bahkan Dira salah satu anggota D’STAR pernah mengerjarnya. Hampir saja, dia tergolong cewek tomboi dan paling cuek dengan penampilan. Sekalipun dia tidak pernah memakai make-up, tapi itu semua tidak bisa menghapus gurat-gurat kecantikan dari wajahnya. Karena diam-diam aku sendiri pun mengakuinya.
Seperti malam-malam sebelumnya, aku pulang kerja hampir tengah malam. Satu hal lagi yang perlu aku syukuri, aku memiliki pekerjaan sambilan tiap malam. Aku bekerja di sebuah kedai kopi, 300m dari rumah. Setidaknya gaji yang aku peroleh lumayan cukup untuk bayar SPP tiap bulannya.
Karena rasa capek dan kantuk yang sudah memberatkan tubuh dan mataku, cepat-cepat kulangkahkan kaki agar lebih cepat sampai dirumah. Jalanan sudah mulai sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang masih berlalu lalang. Sesampainya di tikungan jalan, tepatnya di depan sebuah ATM, aku melihat ada keributan.
“tolooooong.....toooolong....” Aku mendengar seorang meminta tolong. Aku langsung berlari ke arah asal suara itu. “Ada apa Pak?” tanyaku pada bapak yang berteriak tadi.
“Mereka mengambil semua uang saya dik. Uang yang baru saya ambil dari ATM ini” jawabannya dengan nafas terputus-putus.
Langsung saja kukejar 2 orang penjambret itu. “Hei...berhenti....”. terriaku. Setelah cukup dekat, kutendang salah satu dari mereka. Laki-laki yang berperawakan hitam kurus itu pun jatuh tersungkur. Sementara laki-laki yang satunya lagi, siap-siap melayangkan tinju ke arahku. Untung aku cepat mengelak. Dan disaat yang sama pula. “kuhadiahkan” dua buah bogem mentah dihidung dan perutnya. Laki-laki itu pun mengaduh kesakitan. Dengan bekal ilmu beladiri yang kupunya, kuhajar satu-persatu dari mereka.
Karena merasa terpojok, kemudian laki-laki yang bertubuh hitam kurus mengeluarkan sebilah pisau dari balik jaket hitammnya.
“Mau lari kemana kau bocah?” ejeknya.
“Aduh. Bisa mati konyol aku”. Pikirku. Rupanya Tuhan masih menyayangiku. Karena di saat yang sama, melintas mobil patroli polisi.
“Pak...tolong saya pak...,” teriakku pada mereka. Sebelum penjahat-penjahat itu melarikan diri,kurebut tas hitam yang mereka cari tadi. Tapi malang tak dapat di tolak. Pisau laki-laki kurus itu mengenai lengan kiriku. Tapi dengan cepat aku bisa menangkisnya. Mereka pun akhirnya terjebak. Polisi-polisi itu berhasil meringkus mereka.
“Terimakasih pak. Bapak datang tepat pada waktunya,” ucapku pada polisi-polisi itu.
“Terimakasih kembali dik. Untung di dunia ini masih banyak orang yang baik dan pemberani seperti adik,” jawabannya sambil memujiku.
“Adik mau saya antar ke rumah sakit untuk mengobati lukanya?” tanya polisi yang kelihatan paling muda di antara yang lain.
“Nggak usah pak. Cuma luka gores aja.” Jawabku tegas.
Entah kapan datangnya, tiba-tiba saja bapak tadi kerampokkan sudah berada di belakangku dan menyahut, “Iya dik. Lukanya harus diobati. Saya sangat berhutang budi dan berterimakasih sekali pada adik”.
“Sama-sama pak. Sudah menjadi kewajiban saya menolong sesama,” jawabku bermaksud tanpa tinggi hati,” Luka ini biar saya obati di rumah saja.”
“Baiklah, kami minta diri. Besok bapak bisa datang ke kantor kami untuk membuat laporan kejahatan mereka,” kata salah satu polisi itu.
Polisi-polisi itu pun pergi. Tinggal aku dan si bapak sendiri. Kami pun terhanyut dalam perbincangan yang seru. Dari obrolan itu akhirnya kuketahui bahwa beliau adalah seorang pemimpin di sebuah perusahaan surat kabar harian terkemuka di kota ini. Namanya Pak Sasmita. Beliau menanyakan banyak hal kepadaku. Namaku, rumahku, sekolahku, termasuk alasan mengapa tengah malam begini masih keluyuran di luar rumah. Aku pun menceritakan semuanya. Sampai akhirnya waktu menunjukkan lewat tengah malam. Kami pun berpisah.
Esok paginya disekolah, aku melihat kerumunan di depan mading. Aku pun penasaran dan ikut berdesak-desakan di antara yang lain.
Oh my good...benarkah termuat diberita mading itu diriku? Sebuah potongan koran dari surat kabar hari ini menuliskan: Seorang pemuda pemberani berhasil melumpuhkan aksi kejahatan tadi malam. Dan pemuda itu masih terhitung salah satu siswa SMU 72. Belum sempat aku membaca kalimat berikutnya, seorang menepuk pundakku.
“Loe hebat Mat. Gue bangga banget punya sobat kaya loe,” kata Adel memuji. Beberapa teman yang lain juga menghujani pujian padaku. Aku hanya tersenyum menimpalinya dan mengucapkan terimakasih. Pagi itu aku benar-benar kaya selebritis yang di hujani pertanyaan “wartawan-wartawan gadungan” tentang kronologis kejadian semalam.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Bagaimana mungkin kejadiaan semalam bisa dimuat di koran, semantara tak ada yang meliputinya sama sekali. Atau jangan-jangan...Ya,nggak salah lagi. Aku yakin pasti dia.
Akhirnya teka-teki itu terjawab sudah. Pada jam istirahat pertama, aku dan Adel di panggil keruang Pak Kepsek. Katanya ada seorang yang ingin bertemu denganku dan Adel. Betapa terkejutnya aku saat mengetahui bahwa orang itu adalah Pak Sasmita.
“Lho. Pak Sasmita kok bisa sampai disini?” tanyaku penasaran. Pak Sasmita dan Adel malah tertawa.
“Biar gue aja yang jelasin,” sela Adel. “Asal lo tahu ya Mat, Om Sas ini adik mama. Tadi pagi Om Sas kerumah, nanya-nanya tentang lo. Ya gue jawab aja kalo Adel gak Cuma kenal Mamat,tapi kenal banget...” kata Adel dengan wajah berbinar-binar.
“Dan secara kebetulan juga, saya adalah sahabat lama kepala sekolah kalian. Itung-itung silaturahmi. Bukan begitu Pak Rudi?” kata Pak Sasmita sambil melirik ke arah Pak Rudi, kepala sekolahku. Yang ditanya hanya mesem-mesem saja.
“Oh ya Mat. Sebenarnya bapak kesini mau minta maaf pada kamu. Tanpa sepengetahuan kamu, bapak telah mengambil gambar-gambar kamu waktu sedang menghajar preman-preman itu. Dan dengan lancang telah meliputinya di surat kabar harian bapak.”
“Nggak papa pak. Toh dah terlanjur. Tapi sebenarnya itu nggak perlu. Karena Cuma bikin geer saya saja,” jawabku.
“Kamu nggak Cuma baik Mat, tapi juga down to earth. Beruntung sekali Adel punya temen kayak kamu.” Lagi-lagi Pak Sasmita memujiku.
“Ya iyalah Om...Siapa dulu temennya? Adeeel...,” kata Adel narsis. Seisi ruangan itu pun tertawa gemas pada Adel.
Sejak kejadiaan itu, aku menjadi popular di sekolah. Apalagi sekarang aku menjadi asisten Pak Rangga, guru ekskul beladiri di sekolah. Dan dari hari kehari, aku semakin dekat saja dengan Adel. Bahkan aku sudah di anggap seperti keluarga sendiri oleh bokap nyokapnya Adel.
Semoga suatu saat nanti Tuhan berkenan membukakan pintu hati Adel buatku. Karena diam-diam aku menaruh hati padanya.
0 komentar:
Posting Komentar